Diceritakan pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan bernama Langka Pura yang wilayah kekuasaannya meliputi Deliserdang, Percut, hingga daerah Deli dan Medan. Kisah ini bermula dari tiga saudara lelaki yang tinggal di kerajaan yaitu Tumbara, Tunapi, dan Tunabu.

Tumbara, si sulung, memiliki kepala yang gundul namun tampan dan gagah perkasa. Tunapi, si anak tengah, berwajah biasa saja, sedangkan Tunabu adalah si bungsu yang patuh dan taat kepada orang tuanya. Suatu hari, ketiganya pergi ke hutan untuk mencari makanan. Sebelum berangkat, ibu mereka, Andam Dewi, berpesan agar mereka berhati-hati dan menggunakan ilmu silat yang telah diajarkan oleh orang tua mereka untuk melindungi diri.

Di dalam hutan, ketiganya bertemu dengan binatang purbakala yang buas. Berkat keahlian dan keberanian mereka, binatang itu berhasil ditundukkan hingga mati. Namun saat mereka pulang, mereka mendapati rumah orang tua mereka sudah hancur berantakan, diserang oleh musuh dan binatang buas.

Setelah kejadian itu, mereka memutuskan untuk berkelana lebih jauh ke dalam hutan. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan kerajaan yang sedang berburu. Raja terpukau melihat kepiawaian Tumbara dalam memainkan tombak. Tumbara bahkan berhasil melempar tombak ke arah punggung kuda dengan akurasi yang sempurna. 

Karena kehebatannya, mereka dibawa ke istana dan diangkat menjadi pengawal kerajaan. Tumbara pun dilantik menjadi panglima dengan gelar Panglima Denai, sementara kedua adiknya, Tunapi dan Tunabu, menjadi pengawalnya.

Panglima Denai kemudian melintasi daerah hulu Sungai Ular dan Sungai Deli yang bermuara di Pantai Percut dan Pantai Cermin. Di sini, ia berhasil mengalahkan para perompak yang sering mengganggu daerah tersebut. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar kehormatan dan dinikahkan dengan putri raja. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Panglima Denai merasa rindu pada ibunya. Ia dan kedua adiknya kembali masuk ke hutan untuk mencari keberadaan sang ibu.

Akhirnya, mereka sampai di Sungai Buaya dekat Galang, tempat di mana mereka mendengar suara dari seekor buaya putih.

“Hai anak-anakku, aku sebenarnya adalah ibumu,” ucap buaya tersebut.

Ketiganya terkejut dan ketakutan mendengar ucapan itu. Buaya putih tersebut lalu menjilat kepala botak Tumbara, dan keajaiban terjadi, rambut ikal mayang yang lebat tumbuh di kepalanya, menjadikannya pria yang lebih tampan dan gagah.

“Anak-anakku, abdilah kalian kepada raja. Jangan pernah durhaka,” pesan sang Ibu.

Setelah memberikan pesan itu, buaya putih tersebut pergi, dan tempat pertemuan itu kemudian dikenal sebagai Silindah. Panglima Denai kembali ke daerah kekuasaannya di Sukaramai, di kawasan yang kini dikenal sebagai Jalan Panglima Denai. Namun, suatu hari, datanglah serangan dari pasukan Portugis yang mendarat di Pantai Percut. Mereka menghancurkan istana dan membakar habis wilayah tersebut. Panglima Denai turut gugur dalam serangan itu. Konon, jasad Panglima Denai dimakamkan secara diam-diam pada tengah malam di daerah Pasartiga, Jalan Panglima Denai.

Hingga saat ini, masih ada sebuah bukit kecil di sana, yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Panglima Denai. Legenda ini mengisahkan keberanian dan kesetiaan Panglima Denai, yang semasa hidupnya berhasil menjaga wilayah dari ancaman perompak dan musuh. Panglima Denai dipercaya menguasai wilayah mulai dari Percut, Denai, hingga Sungai Ular di dekat Tanjungmorawa. Kisahnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat sebagai pahlawan perkasa dari Tanah Sumatera Utara yang kini menjadi nama salah satu jalan di Kota Medan.