Pada masa lampau di Pulau Nias, hiduplah dua saudara bernama Loyo dan Salima, yang dikisahkan berasal dari keluarga bangsawan Nias Selatan. Mereka keturunan dari garis suku yang dihormati dalam masyarakat setempat. Suatu hari, terjadi pertengkaran hebat antar keduanya. Loyo menuduh Salima telah menghianatinya dalam suatu urusan penting. Salima membela diri dan menegaskan bahwa ia beniat menyakiti Loyo. Pertikaian semakin memuncak saat salima menanyakan:

“untuk apa aku menghianatimu, sementara kau tau bahwa kematian bisa datang bila aku berdusta?” loyo menjawab dengan amarah: “ku akui saja. Tapi biarlah ini menjadi ujian: bila kau benar, kau selamat. Jika tidak kau akan lenyap tanpa jejak.” Salima pun merespons dengan tenaga bahwa jika ia terbukti bersalah, ia rela menerima hukuman adat, bahkan mekatian jika itu benar-benar kesalahan yang diperbuatnya. Mendengar itu Loyo menjatuhkan keputusan ekstrem: “kalau kau benar salahku, biarlah engkau menjadi noro sabua kami akan melihat nasibmu.”

Noro sabua dalam bahasa setempat merujuk pada kondisi dimana seseorang berubah menjadi tidak dikenal, tida terlihat jelas, atau bahkan hilang dalam masyarakat.

Sejak saat itu, Salimah menghilang secara misterius. Masyarakat percaya bahwa Salima ditidakan dari peradaban manusia dan menjadi bagian dari noro sabua, yakni entitas yang beraa diantara dunia nyata dan gaib.