Pada masal lalu di Tanah Nias, lahirlah sepasang anak kembar dari Raja Bulugu Silaride Ana’a. Bayi laki-laki diberi nama Silogu Mbana, dan bayi perempuan diberi nama Bururi Siraso. Mereka lahir di tengah kepercayaan adat yang menyebutkan bahwa hubungan antara anak kembar berbeda jenis dianggap pamali (pantangan).

Namun, seiring waktu, masyarakat mulai menyadari bahwa kehadiran mereka membawa berkah. Si kembar tumbuh besar dengan karakter yang berbeda namun saling melengkapi. Silogu Mbana dikenal sebagai pemuda kuat dan pemberanni, sementara Bururi Sirasi dikenal lembut dan sangat peduli terhadap kehidupan sekitar. Silogu membantu rakyat dalam panen dan pertanian, membuat hasil bumi melimpah. Sedangkan Bururi dipercaya memiliki sentuhan yang membawa keberkahan: tanaman yang disentuhnya tumbuh subur, dan ternak yang dirawatnya berkembang biak dengan baik.

Namun tetap saja, sebagian masyarakat masih memandang kkeberadaan mereka sebagai ancaman terhadap keharmoniasan adat. Karena tenakanan itu, keduanya akhirnya memilih mengasingkan diri ke hutan agar tidak mencemari adat dan keyakinan masyarakat. Sejak saat itu, terjadi banyak perubahan di desa. Tanaman tidak lagi subur, dan hasil panen merosot dratis. Masyarakat mulai sadar bahwa keberadaan Bururi dan Silogu bukanlah kutukan, melainkan berkah dari langit.

Akhirnya, warga mencari mereka kembali dan meminta mereka pulang. Sayangnya, menurut legenda, mereka telah berubah menjadi roh pelindung alam. Bururi Siraso dipercaya sebagai penjaga kesubura tanah, dan hingga kini namanya masih dihormati di banyak wilayah Nias, terutama saat musim tanam tiba.