Di satu tempat adalah seorang ibu yang telah janda. Dia hidup bersama anaknya laki-laki berumur 10 tahun bernama Si Budiman. Mereka tinggal pada sebuah gubuk kecil di ladangnya. Ladang itu mereka kerjakan dengan tekunnya. Di samping bercocoktanam, setiap hari mereka pergi menjual kayu bakar ke pasar, dan dari hasil penjualan ini mereka dapat berbelanja seperti beras, garam dan ikan asin dalam jumlah kecil. Mereka tak mampu membeli pakaian.

Sudah lima tahun mereka hidup demikian, sedih dan seng- sara, walaupun demikian si Budiman tetap patuh, rajin membantu dan menyayangi ibunya. Terlebih ibunya pun sayang terhadap anaknya Budiman seorang. Dialah tumpuan hatinya dan sebagai tempatnya berpijak di dunia ini.

Pada suatu hari Budiman meminta izin kepada bundanya agar diperkenankan merantau untuk mencari hidup yang lumayan seraya berjanji akan datang menjemput ibunya jika Tuhan telah memberinya hidup yang baik. Dan dia mohon restu ibunya. Tetapi setiap kali Budiman meminta restu, ibunya selalu menangis, karena tak ingin berpisah dengan anak satu-satunya itu. Kiranya tekad Budiman mencari pekerjaan tak dapat ditahan-tahan lagi, akhirnya sang ibu mengizinkan dan memberikan doa restu semoga anaknya selamat dan mendapatkan pekerjaan yang baik.

Budiman pun berkemas menyiapkan keperluannya lalu datang berlutut di hadapan ibunya dan memohon agar selamat anak-beranak. Disalaminya ibunya dengan hormat barulah dia berangkat meninggalkan ibunya, gubuknya dan ladangnya. Hati ibunya sangat sedih berpisah dengan anak tunggalnya itu.

Sebulan telah berlangsung di mana Budiman telah berkelana melewati beberapa kampung seraya bertanya ke sana ke mari untuk mencari pekerjaan tetapi sungguh sial, tak dapat. Walaupun demikian dia tidak berputus asa untuk mendapatkan pekerjaan. Dia terus berusaha mencari ke sana ke mari hingga sampai pada sebuah kampung yang dekat ke kota. Di sanalah Budiman men- dapatkan pekerjaan menyadap karet milik seorang orang tua yang baik hati.

Pekerjaan menyadap karet itu dilakukan pada sebuah kebun karet. Di sana ada sebuah tempatnya tinggal. Sekali seminggu hasil sadapannya itu diserahkan kepada pemiliknya. Hasil penjualan karet itu diberikan oleh Pemilik kepada Budiman sebanyak dua pertiganya dengan jujur dan ikhlas.

Tetapi Budiman pun semakin jujur dan tetap sopan santun kepada semua orang penghuni kampung itu, sehingga orang pun sayang kepadanya. Setelah satu tahun bekerja di kebun itu, Budi- man telah mempunyai tabungan sebanyak Rp. 50.000,- yang di- simpankannya kepada pemilik kebun tadi.

Pada suatu hari di tempat itu seorang raja mengadakan pesta besar-besaran. Raja itu terkenal baik dan sayang kepada rakyatnya. Baginda mempunyai seorang puteri yang cantik yang telah ber- umur 25 tahun tetapi belum kawin, atau belum ada tambatan hatinya walaupun banyak anak-anak orang kaya dan keturunan raja-raja datang meminangnya. Puteri raja yang cantik itu dinilai orang baik hati. Sang raja sangat gelisah dan kacau pikirannya memikirkan hal puterinya. Untuk memaksakan anaknya itu kawin dengan seseorang tak sampai hati dia karena takut kalau-kalau puterinya itu sakit atau bunuh diri. Akhirnya sang raja meminta kebijaksanaan permaisuri untuk membujuk puteri mereka. Dengan lemah lembut Permaisuri menanyakan maksud itu kepada ibunya dengan hormat,

“Ya, Bunda, ananda pun telah lama memikirkan itu. Dan sekarang pun ananda membukakan isi hati anananda kepada Ibunda. Anakanda akan kawin dengan permohonan agar Ayahanda mengundang semua penduduk kerajaan ini, pun pemuda-pemuda dari negara tetangga kita dan agar diadakan pesta besar-besaran yang dipusatkan di kerajaan ini. Ananda mohon agar juga diadakan pelelangan, tawaran siapa yang tertinggi, itulah jodoh ananda. Saya rela kawin dengan pemuda itu walaupun dia miskin, kaya atau turunan anak raja. Permohonan ananda lagi, sebelum keramaian itu berlangsung, dibuatkanlah sebuah peti besar, cukup untuk tempat tidur dan persediaan makanan ananda selama tujuh hari, serta kunci peti itu dibuat di sebelah dalam. Di dalam peti itulah nanti ananda waktu pesta berlangsung. Siapa nanti yang terpilih jadi jodoh ananda, pasti itulah nanti dibawa ke tempat tinggalnya. Setelah tiba hari ketujuh, ananda akan membuka peti itu barulah diadakan pesta perkawinan ananda di istana ini,” kata Tuan Puteri kepada Permaisuri.

Mendengar jawaban Tuan Puteri itu, hati Permaisuri jadi senang seraya diberitahukannya kepada Raja. Raja pun jadi gembira dan senang hatinya.

Tiada berapa lama antaranya, disebarkanlah pemberitahuan kepada semua kerajaan dan negera tetangga bahwa pesta besar- besaran akan diadakan di kerajaan itu untuk memilih calon jodoh Tuan Puteri. Tawaran siapa nanti yang tertinggi dalam pelelangan itu, dialah yang berhak mempersunting Tuan Puteri.

Pada hari dan bulan yang ditetapkan berduyun-duyunlah orang berdatangan ke tempat kerajaan ini, apalagi pemuda-pemuda dengan pakaian yang indah-indah serta membawa uang masing- masing yang banyak jumlahnya. Ada yang membawa uang dalam tas karena banyaknya. Para pemuda itu duduk berbaris di atas kursi yang empuk yang telah dipersiapkan lebih dahulu. Masing- masing mengharapkan, mudah-mudahan dia beruntung dapat menjadi jodoh Tuan Puteri yang diidamkan.

Mendengar berita keramaian itu Budiman pun ingin sekali melihatnya, maka dimintanyalah keizinan induk semangnya agar dikirimkan ke sana. Karena orang tua itu senang dan sayang kepada Budiman, keizinan diberikan dan menanyakan berapa besar uang yang diperlukan. “Cukup Rp. 6.000,- untuk ananda”, jawabnya. Setelah uang itu diterimanya dengan ucapan terima kasih berangkatlah Budiman dengan gembira. Benarlah, di tempat itu orang sudah ramai, lalu dipilihnya tempat yang akan terpencil dan duduk di atas tanah di bawah sebuah pohon kecil.

Saat pelelangan dimulai oleh seorang pegawai istana raja dan peti Tuan Puteri telah diletakkan di depan sekali, di hadapan orang banyak itu. Pelelangan mulai diiringi dengan pengumuman,

“Tawaran siapa nanti tertinggi, itulah jodoh Tuan Puteri, dan uang lelang harus dibayar dengan segera. Siapa yang tidak membayar lunas lelangnya akan dihukum penggal lehernya,” kata- nya.

Pertama kali tawaran itu dimulai dengan nilai yang rendah yakni Rp. 1.000,- Budiman heran karena tak tahu akan arti dan tujuan pelelangan itu. Sedikitpun Budiman tak mengerti akan hal itu. Dengan tidak sadar dari mulutnya ke luar tawaran Rp. 2.000,- Kemudian pemuda yang banyak uangnya itu menawar Rp. 3.000,- Lagi sekali lagi, Budiman menyebut tawaran Rp. 4.000,- Semua yang hadir mengarahkan pandangan kepada Budiman serta heran melihatnya. Di sana sini kedengaran orang berbisik-bisik dan berkata, “Baiklah, kita tawar sekali lagi, lalu serentak membiarkannya. Tak mungkin anak jahanam itu memiliki uang dan pasti tak mampu nanti membayarnya lunas, biar lehernya kena penggal, anak gila itu,” kata mereka.

Kemudian pemuda yang banyak uang itu menawar Rp. 5.000,- Dengan tidak menunggu lama Budiman menawar Rp. 6.000,- Selanjutnya orang banyak itu diam dan tak ada lagi yang menawar. Setelah ditunggu beberapa saat tidak juga ada tawaran lagi, pegawai istana mengumumkan pelelangan tawaran :

“Satu, dua, tiga kali.” Jatuhlah tawaran tertinggi kepada Budiman. Segera dia dipanggil ke depan dan diminta mem- bayar lunas.

Budiman mengambil uang dari kantongnya, persis Rp. 6.000,- Pemuda-pemuda yang mempunyai uang banyak itu jadi tercengang dan menyesali diri karena uang mereka yang banyak itu tak ada artinya lagi. Mereka pun sadar dan insyaf bahwa tak baik berlaku congkak, tinggi hati dan pandang rendah sesama manusia.

Setelah diumumkan Budiman yang menang dan akan kawin dengan tuan Puteri, orang banyak itu pun kembali ke tempatnya masing-masing. Tetapi orang kembali heran, karena pemuda Budi- man dicari-cari tidak bersua. Kiranya, setelah uang itu dibayarnya lunas ia terus lari ke gubuknya karena menurut anggapannya uang yang Rp. 6.000,- itu adalah ongkos menonton keramaian itu.

Setelah diketahui tempat tinggal Budiman, Raja pun meme- rintahkan beberapa orang hulubalang mengantarkan peti tuan puteri ke gubuknya. Setelah diletakkan baik-baik, melaporkannya kepada raja. Sepulang dari pekerjaannya Budiman jadi heran melihat peti itu. Tetapi dia tidak begitu ambil pusing lalu berkata dalam hatinya, “Syukurlah ada orang yang kasihan kepada saya” pikirnya.

Peti ini sangat baik untuk tempat tidur-tidur di atasnya untuk melepaskan lelah. Sejak itu Budiman sehabis dari pekerjaan, naik di atas peti itu lalu tidur-tidur sambil bernyanyi-nyanyi.

Memasuki hari ketujuh sewaktu Budiman pergi bekerja menyadap karet sekira pukul 6 pagi, tuan puteri pun membuka peti itu dari dalam lalu ke luar dengan pakaian cantik dan dengan hiasan yang mengagumkan. Tengah hari selesai bekerja, Budiman terus pulang ke gubuknya seperti biasa. Sesampainya di gubuk dia pun tercengang melihat kehadiran seorang perempuan yang duduk di atas peti itu. Segera dia berbalik hendak lari. Dalam pikirannya, “Apakah ini orang halus atau manusia? Mengapa perempuan ini masuk ke gubuk saya?” pikirnya, lalu siap mengambil langkah seribu untuk lari. Tetapi dengan cepat tuan puteri berkata lemah lembut,

“Hai anak muda, datanglah dekat padaku, ada yang mau kubicarakan dengan Kakanda. Dan kalau lari nanti akan dihukum raja negeri ini dengan hukuman pancung”.

Mendengar kata-kata itu, Budiman jadi takut dan dengan tidak pikir panjang lagi, didekatinyalah tuan puteri itu seraya gemetar. Tuan puteri pun berkata dengan sopan santun,

“Ya, Kanda, dinda harap Kanda tenang. Dengan takdir Tu- han, Kakandalah jodoh adinda. Dan besok kita akan pergi ke istana raja, ayahanda agar kita dikawinkan di sana. Sudah enam hari adinda di sini, di dalam peti ini, serta memperhatikan Kakan- da”, katanya.

Budiman tak dapat berkata-kata sepatah pun, dia tak percaya akan kata-kata tuan puteri itu.

Dan benarlah, tiada berapa lama datanglah beberapa orang pegawai istana menjemput tuan puteri dan Budiman dari tempat itu. Budiman diberi pakaian indah dan mereka pun berangkatlah me- nuju istana diiringi oleh rombongan pegawai istana.

Di depan sekali berjalanlah Tuan Puteri dan Budiman. Di- muka istana mereka disambut dengan bunyi-bunyian dan tepuk sorak khalayak ramai.

Untuk meresmikan perkawinan itu diadakan pulalah pesta besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Selesai pesta per- kawinan itu orang banyak pun kembalilah ke tempat masing- masing. Akan Tuan Puteri dan suaminya tinggallah pada sebuah rumah yang indah di samping istana raja. Sedikit demi sedikit Budiman menyesuaikan diri dengan adat-istiadat istana.

Enam bulan kemudian, Budiman dan isterinya Tuan Puteri dengan beberapa orang pegawai istana berangkatlah ke tempat asalnya dengan maksud menjemput ibunya itu. Ibunya sangat ter- cengang melihat kedatangan rombongan tersebut. Tetapi Budiman lebih dahulu masuk ke gubuk dan sembah sujud di hadapan ibu- nya; lalu menceritakan halnya dari awal sampai akhir tentang nasibnys dirantau orang. Budiman membawa ibunya diiringi rombongan menuju istana raja. Di sana, ibunya diperkenalkap kepada raja mertuanya itu. Semua penghuni istana bergembira dan menyambut baik kehadiran ibu Budiman ahun demi tahun setelah Budiman tinggal bersama isteri dan keluarganya di istana raja itu datanglah bala penyakit. Beberapa orang dukun sudah memberikan pertolongan kepada anak negeri itu tetapi penyakit itu tetap meraja lela. Raja pun tidak kecuali, maka dipanggillah pembesar-pembesar kerajaan lalu raja bertitah, “Ya, ananda semua, berhubung ajal ayahanda sudah dekat, jika seandainya ayahanda meninggal nanti, kerajaan ini saya serah- kan kepada ananda Budiman. Dan ayahanda harap ananda setuju semuanya.” Semua yang hadir serentak bersuara, mereka setuju dan taat. Dan tiada berapa lama raja pun mangkat. Setelah selesai upacara pemakaman, maka dinobatkanlah Budiman menjadi raja negeri itu. Sebagai raja Budiman pun dan permaisurinya dengan baik memerintah negeri itu, jujur dan tetap memikirkan kesejah- teraan rakyatnya. Persawahan dan tali air dibangunnya, demikian pula jalan-jalan pun diperbaikinya. Keamanan bertambah baik sehingga semua rakyat mencintai raja baru itu, demikian juga raja dan permaisuri mencintai rakyatnya. Begitulah kerajaan yang di- pimpin Budiman itu berlangsung aman dan sentosa, di mana rakyatnya hidup dengan rukun dan damai.