Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda yang sangat tampan dan pandai memainkan seruling. Pemuda ini hidup sebatang kara dan berkelana dari satu desa ke desa lainnya.

Suatu hari, ketika pemuda itu menuju sebuah desa yang besar dan ramai, yang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana, ia tiba di desa tersebut. Raja negeri itu memiliki seorang putri yang cantik, bijak, dan sangat dihormati oleh seluruh rakyatnya. Di pinggir desa, terdapat sebuah sungai yang digunakan sebagai tempat pemandian putri raja. Tak seorang pun berani mandi di tempat tersebut karena itu adalah tempat khusus bagi sang putri.

Suatu hari, sang pemuda yang sedang berkelana itu tiba di sebuah muara sungai, yang memiliki tiga cabang aliran. Pemuda tersebut bingung, aliran mana yang harus diikutinya. Setelah memperhatikan, ia melihat bahwa di sebelah kanan airnya jernih dan banyak daun-daun yang mengalir, sementara di sebelah kiri airnya merah, dan di tengah airnya keruh serta berbuih menandakan ada sesuatu yang terjadi di hulu sungai.

Pemuda itu memutuskan untuk mengikuti aliran sungai yang berada di tengah. Setelah beberapa hari berjalan, ia sampai di suatu tempat yang terlarang bagi orang biasa untuk datang, yaitu pemandian putri raja. Pemuda itu memutuskan untuk bersembunyi di tempat tersebut. Tidak lama kemudian, putri raja datang untuk mandi, ditemani oleh dayang-dayangnya.

Pemuda itu pun keluar dari tempat persembunyiannya, dan putri raja yang terkejut bertanya padanya, “Siapakah sebenarnya engkau yang berani datang ke tempat pemandian ini?”

Pemuda itu menjawab dengan hormat, “Maafkanlah aku, wahai putri yang cantik, aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin tahu, desa apakah ini dan siapakah gerangan putri yang cantik ini?”

Putri raja itu menjawab dengan agak dingin, “Aku adalah seorang pengelana yang terdampar di negeri ini, dan jika diperbolehkan, aku ingin singgah sebentar dan berkenalan dengan masyarakat di sini.”

Esok paginya, seperti biasa, putri raja pergi ke tempat pemandian, dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat pemuda yang kemarin sudah ada di sana, duduk memainkan seruling dengan merdu. Akhirnya, putri raja pun mengajak pemuda tersebut ke istana untuk bertemu dengan orang tuanya.

Raja menyambut pemuda itu dengan meriah dan menjamu di istana. Ia memperkenalkan pemuda tersebut kepada permaisuri dan para pejabat kerajaan. Raja pun mengizinkan pemuda itu tinggal di kerajaan, dan setelah beberapa bulan, raja menjodohkan putrinya dengan pemuda tersebut. Raja memberikan banyak hadiah berupa sawah, rumah, bahkan pengawal dan dayang-dayang.

Namun, sifat manusia sulit ditebak. Setelah beberapa bulan, sifat menantu raja berubah. Ia mulai menjadi peminum, suka berfoya-foya, dan penjudi. Sang putri sudah beberapa kali menasehati suaminya, namun tidak pernah didengarkan. Malah, kebiasaan buruknya semakin menjadi-jadi. Hal ini membuat putri raja merasa sakit hati dan putus asa. Ia merasa tidak ada lagi harapan bagi suaminya untuk berubah.

Putri raja pun memutuskan untuk pergi meninggalkan suaminya untuk selamanya karena ia melihat tidak ada pertobatan dalam diri suaminya. Sang putri memanggil burung peliharaannya, yang merupakan burung raksasa berkepala tujuh, yang selama ini tinggal di gunung. Burung itu diberi nama “Sigurba Gurba Sipitu Takal” oleh putri raja. Burung itu pun terbang membawa sang putri pergi.

Namun, belum jauh mereka terbang, terdengar suara seruling yang dimainkan suaminya dari kejauhan. Sang putri pun menyuruh burung peliharaannya untuk turun kembali dan hinggap di pohon nyiur keppal. Sang putri merasa rindu dan kasihan melihat suaminya yang masih memainkan serulingnya.

Putri raja melihat suaminya duduk sambil memainkan seruling dan memohon agar ia turun. Namun, sang putri tetap tidak mau turun. Setelah puas memandang suaminya, sang putri memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Tetapi, tak lama kemudian, suara seruling itu terdengar lagi, dan kali ini sang putri merasa semakin tergerak. Ia pun menyuruh burung peliharaannya untuk turun dan hinggap di pohon nyiur gading.

Suaminya pun memohon kepada sang putri untuk turun dan berjanji akan bertobat. Namun, sang putri tetap tidak mau mendengarkan perkataan suaminya. Burung peliharaannya pun kembali terbang, dan sang putri menatap suaminya untuk terakhir kalinya. Sebelum pergi, sang putri berpesan, “Suamiku tercinta, sudah nasib kita berpisah. Jika engkau merindukanku, carilah pohon nyiur keppal, nyiur gading, dan nyiur ijo. Minumlah airnya sebagai penawar rindumu, dan jika engkau sakit, buahnya bisa menjadi obat.”

Setelah memberi pesan terakhir, sang putri terbang bersama burung peliharaannya dan tidak pernah kembali. Tinggallah sang suami dengan penyesalan yang terlambat. Alkisah, buah nyiur keppal, nyiur gading, dan nyiur ijo kini dikenal sebagai obat penawar sakit, dan sampai sekarang banyak digunakan oleh orang untuk berbagai ramuan obat.